BERBAGI

Menjadi politisi di tengah kultur patriarki bukanlah suatu yang gampang bagi seorang perempuan. Pandangan sinis selalu datang untuk perempuan yang ingin mencoba jalan politik dalam karirnya. Pandangan itu ada di tengah-tengah masyarakat yang masih berpedoman bahwa kaum laki-laki lebih diutamakan dibandingkan kaum perempuan.
Konsepsi patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan dengan posisi sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam hal politik. Kalindan antara tradisi-budaya dan penafsiran agama menjadikan patriarki langgeng di kehidupan masyarakat. Sehingga suatu hal yang tabu jika ada kaum hawa menduduki posisi stretegis di struktur pemerintahan, seperti bupati, gubernur dan juga anggota dewan.
Di tengah kuatnya kultur tersebut, seorang perempuan kelahiran 1978 mencoba menjelaskan kepada masyarakat Madura bahwa perempuan juga memiliki kemampuan untuk berperan aktif di politik. Perempuan itu tak lain adalah Nurfitriana. Fitriana memantapkan niatnya untuk maju sebagai anggota DPRD Jawa Timur dari dapil XIV (Bangkalan-Sampang-Pamekasan-Sumenep).
“Selama ini, perempuan hanya di posisikan sebagai orang kedua. Dalam prakteknya misalnya saat menentukan caleg, hampir semua partai politik memposisikan caleg perempuan sebagai pelengkap untuk memenuhi syarat 30 persen. Maka saya ingin mencoba merubah pradigma tersebut, bahwa sesungguhnya perempuan Madura ini juga bisa berkontribusi dalam politik,” ungkap anggota Fraksi PKB DPRD Jawa Timur periode 2019-2024 itu.
Semangatnya untuk maju sebagai wakil rakyat itu saat ia ditunjuk sebagai Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten Sumenep. Bersinggungan dengan warga secara langsung membuat dirinya tergugah, bahwa ia harus berbuat sesuatu yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. Politik menjadi pilihannya. Ia mantap menempuh jalur politik usai diberi amanat sebagai Ketua Perempuan Bangsa untuk Sumenep. Seketika itu, ia semakin sadar, melalui politik segela sesuatu yang menyangkut hajat hidup masyarakat bisa diperjuangkan.
Menyandang status sebagai istri bupati, bukan menjadikan jaminan ia dengan mudah melaju ke Indrapura, Kantor DPRD Jawa Timur. Kehadirannya sebagai caleg dianggap sebagai ancaman untuk para politisi incumbent. Serangan dan negative campaign diarahkan mulai diarahkan kepada dirinya. Alat peraga kampanye di rusak dan ditulisi kata-kata kotor (cabul) mewarnai perjuangan Fitriana dalam proses kampanye.
Beriring doa dan dukungan keluarga mampu meneguhkan hatinya. Lambat laun ia mendapatkan simpati dari masyarakat karena kerja kerasnya dalam berkampanye.
“Alhamdulillah dengan adanya dukungan semua pihak baik mesin partai mulai dari level DPC, PAC sampai ranting serta dukungan para komunitas-komunitas perempuan di sumenep,” katanya.
Mesin politik partai yang telah ditata rapi berjalan sesuai dengan planning yang digendakan. Fitriana berhasil meraih 92.855 suara dan menghandarkannya duduk di parlemen Jawa Timur. Kesuksesan itu bisa menjadi motivasi untuk perempuan-perempuan Madura, bahwa kaum hawa juga bisa sukses di politik dengan kerja keras yang diiringi doa kepada Allah SWT.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here