BERBAGI
Slamet, sosok kakek yang membangun usaha bisnis sangkar burung

Inspirasijatim.com – Awan mulai bergelayut tatkala kami sampai di depan rumah Slamet (61). Di rumah sederhananya, kami dijamu seadanya. Bertempat di Desa Jelakombo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Slamet membangun usaha bisnisnya.

Rupanya, kecacatan fisik tak membuatnya pasrah apalagi frustasi. Di teras rumah semi ruang kerjanya, Slamet menceritakan asal mula ia menekuni bisnis pembuatan sangkar burung sambil bekerja.

Tangannya tampak cekatan memotong setiap bilah kayu sesuai dengan pola yang sudah dibuat sebelumnya. Dengan telaten, dia menghaluskan permukaan potongan-potongan kayu itu secara manual dengan ampelas.

Lantas dengan alat bor, dia membuat lubang-lubang sebagai tempat memasang jeruji sangkar. Slamet pun merangkai kayu-kayu yang telah dihaluskan menjadi sebuah sangkar burung.

Kondisi kedua kaki Slamet yang kecil tak seperti kaki pria dewasa pada umumnya, tak menghambat kesibukannya membuat sangkar burung. Sesekali dia harus beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil peralatan atau bahan yang dibutuhkan.

Untuk berjalan, kakek 4 cucu ini menggunakan dua tongkat ketiak sekaligus. Hanya kaki kirinya yang bisa menapak ke tanah. Sementara kaki kanan Slamet terlihat mengecil dan bengkok.

“Kelainan sejak kecil, sejak usia 1 tahun. Kata ibu saya saat itu saya sudah bisa jalan, tapi kemudian kena folio,” kata Slamet di rumahnya, Sabtu (1/12/2018).

Kedua kakinya yang tak sempurna membuat Slamet tak punya kesempatan bekerja seperti orang lain. Terlebih lagi dia tak pernah mengenyam pendidikan.

Namun, Slamet enggan berpangku tangan. Saat usianya baru 13 tahun, yakni pada tahun 1970, Slamet mulai belajar membuat sangkar burung. Bisnis ini lah yang dia tekuni sampai saat ini.

“Kesibukan sehari-hari hanya membuat sangkar burung,” ungkapnya.Kerajinan sangkar burung kecil-kecilan ini rupanya tak sekadar menjadi andalan Slamet untuk bertahan hidup. Dengan usaha ini, dia bahkan mampu merajut rumah tangga hingga mempunyai dua anak dan 4 cucu.

Namun, kini sang istri Widowati telah tiada. Slamet pun harus tinggal seorang diri di rumah dari bilik bambu ini. Sementara kedua anaknya memilih hidup mandiri setelah menikah.

“Saya tinggal sendirian di sini, kadang anak-anak ke sini kirim makanan,” ujarnya.

Penghasilan Slamet dari membuat sangkar burung sangat lah tak menentu. Terlebih lagi dia hanya mengandalkan datangnya pesanan.

Dalam sebulan, paling banyak dia mendapat 5 pesanan sangkar burung. Itu pun setiap sangkar dia jual seharga Rp 125-350 ribu. Secara kualitas, memang sangkar burung buatan Slamet tak kalah dengan pengrajin lainnya.

“Rata-rata satu minggu saya mampu menyelesaikan satu sangkar,” terangnya.

Kegigihan Slamet di tengah keterbatasan fisiknya memang patut diacungi jempol. Dia tak pernah mengeluh meski hidup serba pas-pasan.

Dia juga tak mau kalah dengan orang-orang yang lebih beruntung darinya. Untuk pergi ke suatu tempat, dia menggunakan sepeda motor yang telah dimodifikasi menjadi roda 3.

“Kalau belanja kayu untuk bahan sangkar ya pakai motor ini,” tandasnya. Keterbatasan fisik tak membuat Slamet (61) menggantungkan hidupnya ke orang lain. Meski kedua kakinya cacat akibat polio, dia memilih bertahan hidup dengan menjadi pengrajin sangkar burung.

Ditemui di rumahnya, Dusun/Desa Jelakombo, Kecamatan/Kabupaten Jombang, Slamet tengah sibuk dengan pekerjaannya. Ya, bapak dua anak ini menjadikan teras rumah semi permanen itu sebagai bengkel kerja.

Tangannya tampak cekatan memotong setiap bilah kayu sesuai dengan pola yang sudah dibuat sebelumnya. Dengan telaten, dia menghaluskan permukaan potongan-potongan kayu itu secara manual dengan ampelas.

Lantas dengan alat bor, dia membuat lubang-lubang sebagai tempat memasang jeruji sangkar. Slamet pun merangkai kayu-kayu yang telah dihaluskan menjadi sebuah sangkar burung.

Kondisi kedua kaki Slamet yang kecil tak seperti kaki pria dewasa pada umumnya, tak menghambat kesibukannya membuat sangkar burung. Sesekali dia harus beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil peralatan atau bahan yang dibutuhkan.

Untuk berjalan, kakek 4 cucu ini menggunakan dua tongkat ketiak sekaligus. Hanya kaki kirinya yang bisa menapak ke tanah. Sementara kaki kanan Slamet terlihat mengecil dan bengkok.

“Kelainan sejak kecil, sejak usia 1 tahun. Kata ibu saya saat itu saya sudah bisa jalan, tapi kemudian kena folio,” kata Slamet kepada wartawan di rumahnya, Sabtu (1/12/2018).

Kedua kakinya yang tak sempurna membuat Slamet tak punya kesempatan bekerja seperti orang lain. Terlebih lagi dia tak pernah mengenyam pendidikan.

Namun, Slamet enggan berpangku tangan. Saat usianya baru 13 tahun, yakni pada tahun 1970, Slamet mulai belajar membuat sangkar burung. Bisnis ini lah yang dia tekuni sampai saat ini.

“Kesibukan sehari-hari hanya membuat sangkar burung,” ungkapnya.

Kerajinan sangkar burung kecil-kecilan ini rupanya tak sekadar menjadi andalan Slamet untuk bertahan hidup. Dengan usaha ini, dia bahkan mampu merajut rumah tangga hingga mempunyai dua anak dan 4 cucu.

Namun, kini sang istri Widowati telah tiada. Slamet pun harus tinggal seorang diri di rumah dari bilik bambu ini. Sementara kedua anaknya memilih hidup mandiri setelah menikah.

“Saya tinggal sendirian di sini, kadang anak-anak ke sini kirim makanan,” ujarnya.

Penghasilan Slamet dari membuat sangkar burung sangat lah tak menentu. Terlebih lagi dia hanya mengandalkan datangnya pesanan.

Dalam sebulan, paling banyak dia mendapat 5 pesanan sangkar burung. Itu pun setiap sangkar dia jual seharga Rp 125-350 ribu. Secara kualitas, memang sangkar burung buatan Slamet tak kalah dengan pengrajin lainnya.

“Rata-rata satu minggu saya mampu menyelesaikan satu sangkar,” terangnya.

Kegigihan Slamet di tengah keterbatasan fisiknya memang patut diacungi jempol. Dia tak pernah mengeluh meski hidup serba pas-pasan.

Dia juga tak mau kalah dengan orang-orang yang lebih beruntung darinya. Untuk pergi ke suatu tempat, dia menggunakan sepeda motor yang telah dimodifikasi menjadi roda 3.

“Kalau belanja kayu untuk bahan sangkar ya pakai motor ini,” tandasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here