BERBAGI
Haryono di ruang kerjanya

Inspirasijatim.com – Meski kemajuan tekhnologi dan industri berkembang pesat, nyatanya tidak berdampak terhadap keahlian membuat wayang kulit. Menekeni wayang kulit sejak 30 tahun silam, Hartono (52) masih bertahan menggeluti hiburan rakyat tersebut.

Hartono bercerita bahwa lingkungan telah membuatnya tertarik untuk mendalami wayang kulit di Solo. Sehingga secara otomatis membuatnya ingin belajar membuat kesenian tradisional itu.

“Saya belajar ke tetangga sejak sekolah SD, lalu SMP sudah bisa membuat wayang sendiri dan bisa laku dijual. Kalau dihitung sampai sekarang sudah 30 tahun,” tutur Hartono di rumahnya, Rabu (28/11/2018).

Sebelum memutuskan untuk menetap di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Hartono melanglang buana ke beberapa tempat mulai dari Jakarta, Batam, Malang, hingga ke Sidoarjo.

“Jenuh ikut orang. Saya usaha sendiri mulai tahun 2003. Saat itu saya sudah menikah dan punya anak dua,” ujarnya.

Selama 30 tahun menjadi pengrajin wayang, Hartono kenyang dengan pahit dan manisnya dunia usaha. Namun kini kerja keras dan ketekunannya itu pun berbuah manis.

Tak hanya mampu membeli rumah dan 2 sepeda motor, suami Mukhayah (42) ini bisa mendidik dan membesarkan ketiga anaknya berkat wayang kulit.

Tetap eksisnya Hartono sebagai pengrajin wayang kulit juga tak lepas dari pesanan yang terus mengalir. Bahkan kakek satu cucu itu mengaku kesulitan mencari tenaga pengrajin sehingga ia kewalahan memenuhi pesanan para dalang.

“Pesanan dari lokalan sini (Mojokerto) dan juga para dalang seluruh Jawa Timur. Karena pengrajin wayang jarang,” ungkapnya.

Untuk itu, Hartono hanya mampu membuat 6-7 wayang kulit dalam sebulan. Sebab untuk membuat satu wayang rata-rata membutuhkan waktu selama 5-6 hari. Belum lagi jika ukurannya berbeda.

Terlebih lagi proses pembuatan wayang kulit di rumah Hartono masih dilakukan secara tradisional. Bahan baku kulit kerbau atau sapi harus lebih dulu dibersihkan bulunya, lalu potongan kulit itu direndam dengan air tawar selama 12 jam.

Kulit yang sudah lunak kemudian dijemur di bawah terik matahari sambil dibentangkan pada papan kayu. Setelah kering, barulah kulit digambar dan dipotong sesuai dengan pola wayang. Goresan pola wayang lantas diukir hingga berwujud lebih artistik.

Proses selanjutnya adalah penghalusan dan pewarnaan. Agar warna wayang awet, Hartono menggunakan cat impor dari Jepang. Permukaan wayang lalu dilapisi dengan lem khusus supaya tak mudah kotor dan mengkilat.

“Setelah itu dipasang tangan dan pegangan dari kayu. Rangka tengah wayang saya gunakan rotan supaya lentur saat digunakan untuk pertunjukan,” terangnya.

Soal harga, rupanya masih sebanding dengan lamanya proses pembuatan. Wayang paling kecil setinggi 50 cm dijual seharga Rp 300 ribu, sedangkan wayang setinggi 90-100 cm dipatok seharga Rp 2-2,5 juta.

“Alhamdulillah keuntungan bersih saya setiap bulan Rp 5-6 juta,” tutupnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here