Inspirasijatim.com – Jika dulu kita mengenal batik tulis dan batik lukis, kali ini ada konsep baru dalam pembuatan batik yang ditemukan oleh Firman Asyhari, (42), warga Manukan Surabaya.
Ide ini didapat tatkala seringnya Firman mendengar keluh kesah temannya saat mereka kerepotan mendapati batik buatanyan terkena noda kawat yang sudah berkarat atau teyeng. Sebab noda teyeng tersebut sulit sekali dihilangkan.
Dari curhatan temennya tersebut, Firman berkesimpulan bahwa noda yang dihasilkan dari teyeng ini awet sehingga bisa dijadikan motif batik.
“Saya ambil kesimpulan, kalau sulit dihilangkan berarti awet, bisa dijadikan motif batik,” ujar Firman di kediamannya, Senin (1/10/2018).
Untuk membuktikan analisanya, ia menaburi menaburi kain mori dengan serbuk besi. Kemudian ia basahi dengan air, lalu ditaburi garam dan didiamkan selama dua hari.
Ketika dibuka, warga Manukan ini terkejut karena hasilnya bagus sekali. Bercak-bercak teyeng tersebut tampak unik dan menarik.
Ia yang awalnya berkarya di bidang batik lukis pun mengombinasikan batik lukis dengan batik teyeng.
Ayah tiga anak itu lalu memperkenalkan brand Batik Teyeng miliknya Oktober 2013 lalu di House of Sampoerna, Surabaya.
Firmanpun mengakui bahwa tekhnik yang ia temukan ini masih baru dan harus ada pengedukasian terhadap masyarakat terhadap ciptaannya tersebut.
“Namanya teknik baru, ya sulit juga memperkenalkan ke masyarakat. Kan harus edukasi, orang kan tidak tahu batik teyeng. Kata ‘teyeng’ saja tidak banyak yang tahu artinya, Jawa Barat tahunya karat,” ujarnya.
Ia merasa senang bisa mengangkat sebuah seni yang tak hanya eksentrik, tetapi membawa makna baik.
Firman mengatakan, sesuatu yang berkarat umumnya dianggap buruk. Teyeng ia filosofikan sebagai dosa-dosa manusia, yang supaya kembali baik, ia transformasi menjadi karya seni yang indah.
“Supaya baik, kita harus berubah menjadi indah. Makanya saya memiliki tagline ‘when rusty becomes beauty’ atau ketika karat menjadi hal yang indah,” tegasnya.
Demi membagi keindahan batik teyeng dengan masyarakat, Firman menggandeng beberapa desainer untuk mempopulerkan karyanya. Dua di antaranya adalah Dibya Hodi dan Embran Nawawi.
Tak tanggung-tanggung, para desainer ini memesan batik teyeng untuk dipamerkan di luar negeri.
“Kalau ke luar negeri, dulu dibawa sama Sampoerna ke Swiss sebagai suvenir syal. Lalu dibawa desainer Dibya sampai Myanmar, dan Embran membawa ke Vietnam. Sudah dua tahunan ini promosi dan menggandeng desainer,” katanya.
Anggota E-UKM ini menyebut meski memasarkan lewat desainer, ia tetap mengambil segmen bawah, karena jika berbicara soal batik, segmen atas dikuasai oleh batik tulis halus.
Sedangkan Batik Teyeng menurutnya tidak bisa dijadikan batik tulis halus, karena antara motif batik tulis dan teyeng menjadi rancu, tidak jelas mana yang ditonjolkan.
Ia menjual per lembar batik teyengnya dengan ukuran dua 1/4 meter seharga Rp 150.000-Rp 300.000, tergantung tingkat kerumitannya.
Firman berharap, ada orang lain yang mau menekuni batik teyeng. Ia bahkan merasa tak masalah jika ada orang yang mau menyainginya.
“Saya inginnya membuat pelatihan-pelatihan. Barangkali ada yang ingin menekuni dan menjadi saingan saya. Saya ini kan sudah tua, anak-anak saya juga sudah punya pekerjaan masing-masing jadi tidak mungkin melanjutkan. Kalau jadi ikon batik teyeng Surabaya ya saya ingin, tetapi akan lebih baik kalau ada yang melanjutkan,” pungkasnya. [mm]